Selasa, 26 April 2011

HASTA BRATA
Thomas Wiyasa Bratawijaya
 
Editor memilih bab IX dari buku "Mengungkap  dan Mengenal BudayaJawa" 
karya Thomas Wiyasa Bratawijaya, yang berjudul "Kepemimpinan Hasta Brata"
Sebagai penambah khasanah bahwa nilai-nilai luhur kepemimpinan sebenarnya
telah menjadi bahan pemikiran orang, apa pun bangsa dan tradisinya. 
Semoga bermanfaat. [Editor]
 
 
SIFAT DASAR KEPEMIMPINAN
 
Sifat dasar kepemimpinan ini selalu dilaksanakanoleh Sri Rama, raja Pancawati,
 yang disebut "Hasta Brata". Hasta artinya delapan. Brata artinya perilaku atau sifat. 
Delapan sifat kepemiminan tersebut adalah:
1.    Sifat MATAHARI, matahari mengeluarkan panas,penuh energi dan memberi sarana untuk hidup.
     Seorang pemimpin harus mampu memberi motivasi, semangat,kehidupan dan kekuatan 
     kepada seluruh anak buahnya.
2.    Sifat BULAN, bulan bentuknya bulat indah, menarikhati dan bersifat menerangi di dalam kegelapan. 
     Seorang pemimpin harus dapat menyenangkan,menarik hati dan memberi terang kepada anak buahnya.
3.    Sifat BINTANG, bintang mempunyai bentuk indah dan menjadi hiasan langit di waktu malam, 
     serta alat penunjuk arah. Seorang pemimpin harus dapat memberi petunjuk, pengarahan dan 
     bimbingan agar anak buahnya mampu menyelesaikan tugas dengan baik. 
     Bintang adalah lambang ingat dan mengabdikepada Tuhan. Seorang pemimpin harus bertaqwa 
     kepadaTuhan.
4.    Sifat ANGIN, angin mempunyai sifat dapat mengisi setiap ruang yang kosong. 
     Seorang pemimpin harus bertindak cermat dan teliti serta tidak segan-segan terjun langsung 
     ke masyarakat. Selain itu, agar mampu membawa suasana menyenangkan.
5.    Sifat API, api bersifat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya dan tegas. 
     Jadi seorang pemimpin harus mampu bertindak tegas dan adil tanpa pandang bulu.  
     Di samping tegas, seorang pemimpin harus mempunyai prinsip konsisten serta dapat 
     menahan emosi atau mengendalikan diri.
6.    Sifat MENDUNG, mendung bersifat menakutkan,berwibawa, tetapi setelah berubah menjadi air 
     atau hujan, dapat menyegarkan semua makhluk hidup.Seorang pemimpin harus menjaga 
     kewibawaan dengan berbuat jujur, terbuka dan memberikan yang bermanfaat bagi anak buahnya.
7.    Sifat SAMUDERA, samudera mempunyai sifat luas dan dapat menampung apa saja yang masuk 
     ke dalamnya. Juga bersifat rata.Jadi seorang pemimpin harus mempunyai pandangan luas, 
     adil, mampu menerima berbagai macam persoalan,tidak boleh pilih kasih, dan 
     membenci golongan apapun. Di samping itu,seorang pemimpin harus berbesar jiwa 
     dengan memaafkan kesalahan orang lain.
8.    Sifat BUMI, bumi mempunyai sifat teguh, sentosa dan apa yang ditanam akan menghasilkan 
     yang bermanfaat untuk kehidupan. Jadi seorang pemimpin harus berteguh hati dan selalu mampu
     meberi anugerah kepada siapa saja yang berjasa.
 
 
PERAN KEPEMIMPINAN HASTA BRATA
 
 
Berbagai peran yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar mendapat dukungan secara mantap 
dan bertahan lama, hendaknya berpegang pada sifat kepemimpinan yang dijalankan oleh Sri Rama 
yang disebut Hasta Brata tadi.Seorang pemimpin harus dapat menjadi perhatian. 
Bila kepemimpinannya tidak baik, tidak jujur dan berbuat korupsi jelas tidak mungkin dan 
tidak perlu menjadi panutan. Perilaku pemimpin Jawa yang dapat menjadi panutan 
haru smampu berperan atau berfungsi sebagai :
 
1.    Komandan. Pemimpin harus mampu memerintah anak buahnya, bertindak tegas dan berani tampil 
     ke depan. Ia harus berdisiplin diri sebelum mendisiplinkan anak buahnya, memberi arahan dan
     perintah disertai dengan petunjuk dan pedoman yang jelas.     
2.    Pelopor. Pemimpin harus kreatif, penuh inisiatif dan bila perlu tampil kedepan untuk membuka jalan 
     dan mengatasi masalah yang timbul. Sebagai pelopor, pemimpin harus memiliki intelegensi 
     yang cukup tinggi, cakap dan pandai mengatur strategi.
3.    Bapak. Seorang pemimpin harus bijaksana dan adil.Pemimpin harus mengayomi 
     anak buahnya, memberi harapan kehidupan yang bahagia dan menjamin kesejahteraan seluruh
     anak buahnya. Pemimpin harus mampu menciptakan suasana tenang, tentram dan damai 
     sehingga anak buahnyadapat melaksanakan tugasnyadengan baik. Selain itu harus dapat 
     membimbing anak buahnya agar dapat mandiri dan bekerja benar.
4.    Ibu. Seorang pemimpin harus memiliki rasa kasih sayang. Ia harus dapat menampung aspirasi, 
     keluhan, laporan dan informasi dari anak buahnya untuk dianalisa sebagai bahan pertimbangan 
     dalam mengambil keputusan.
5.    Guru. Seorang pemimpin dituntut mampu memberikan pendidikan, pengajaran dan pelatihan pada 
     anak buahnya guna kaderisasi.Guru merupakan sumber ilmu, karenanya seorang pemimpin harus 
     selalu belajar agar ilmu pengetahuannya berkembang dan mempunyai visi yang jauh ke depan.
     Sebagai guru,  seorang pemimpin harus sabar dan dapat menilai secara obyektif hasil karya 
     anak buahnya.
6.    Pandita. Seorang pemimpin harus taat dalam menjalankan ibadahnya dan mendorong anak buahnya 
     untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. 
     Pemimpin harus menanamkan moral, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
7.    Sahabat. Seorang pemimpin tidak perlu menjaga jarak dengan menjauhkan diri dari anak buahnya. 
     Sebagai sahabat, seorang pemimpin harus memiliki keakraban,  tenggang rasa, berdialog dalam 
     memecahkan masalah yang terjadi.Dengan keakraban, anak buah merasa dihargai sehingga 
     timbul motivasi untuk bekerja lebih giat dan bersemangat.
8.    Satria. Seorang pemimpin harus melindungi dan mau berkorban demi kebahagiaan anak buahnya. 
     Yang terpenting dari seorang satria adalah rasa malu untuk berbuat curang, menyeleweng, 
     melakukan korupsi dan menyalahgunakan wewenang.Inilah yang perlu dikembangkan sebagai 
     peminpin panutan.
 
TRILOGI KEPEMIMPINAN
 
Trilogi kepemimpinan ini sudah kita ketahui bersama,yaitu ajaran Ki Hadjar
Dewantara yang sangat pouler. Namun demikian dalam tulisan ini perlu saya
ungkap secara sederhana. Isi trilogi tersebut adalah:
1.    Ing ngarsa sung tuladha, artinya sebagai seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan
     baik terhadap anak buahnya yaitu dengan cara berdisiplin,jujur, penuh toleransi dan bertindak adil.
2.    Ing madya mangun karsa, artinya dalam melaksanakan tugas bersama-sama anak buahnya, 
     seorang pemipmpin harus mampu memberikan motivasi agar anak buahnya senang melaksanakan
     tugas dengan baik. Pemimpin tidak hanya memerintah saja tetapi ikut melaksanakan tugas 
     bersama-sama dengan anak buahnya agar sasaran dan tujuan bersama dapat tercapai dengan 
     baik dan memuaskan.
3.    Tut wuri handayani, artinya seorang pemimpin harus bisa mendelegasikan wewenang sesuai dengan 
     kemampuan anak buahnya.Pemimpin harus memberikan kepercayaan penuh pada anak buahnya. 
     Selama anak buahnya mampu melaksanakan tugas dengan baik, penui dedikasi dan tanggung jawab, 
     maka pemimpin tinggal merestui saja.

SEJARAH DAN ATRIBUT PASKIBRAKA

1.    Bendera Pusaka
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan tersebut, untuk pertama kalinya secara resmi Bendera Kebangsaan Merah Putih dikibarkan oleh Latief Hendaningrat dan Suhud. S. Bendera tersebut merupakan hasil jahitan Ibu Fatmawati Soekarno dan selanjutnya bendera inilah yang disebut “Bendera Pusaka”
Bendera Pusaka berkibar siang dan malam ditengah hujan, tembakan sampai Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946.
Pada tahun 1948 Belanda melancarkan agresi militernya. Pada waktu itu Ibukota RI berada di Yogyakarta, Bapak Husein Mutahar (Bapak Paskibraka-red) ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk menyelematkan Bendera Pusaka. (Penyelematan Bendera tersebut merupakan salah satu bagian dari sejarah untuk menegakan berkibarnya Sang Merah Putih di persada Ibu Pertiwi) Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka tersebut terpaksa Bapak Husein Mutahar harus memisahkan antara bagian yang merah serta putihnya. Akhirnya dengan bantuan Ibu Perna Dinata benang jahitan diantara Bendera tersebut berhasil dipisahkan. Selanjutnya kedua bagian tersebut masing-masing di simpan sebagai dasar pada kedua tas Bapak Husein Mutahar yang selanjutnya tas tersebut diisi dengan pakaian serta perlengkapan pribadi miliknya. Hal ihwal Bendera tersebut dipisahkan, karena pada waktu itu beliau mempunyai pemikiran bahwa setelah dipisah Bendera tersebut tidak lagi dapat dikatakan Bendera karena hanya sebatas secarik kain. Hal ini dilakukan guna menghindari penyitaan dari pihak Belanda.
Tak lama setelah Presiden menyerahkan Bendera Pusaka, Beliau ditangkap dan diasingkan oleh Belanda bersama Wakil Presiden beserta staf kepresidenan lainnya ke Muntok, Bangka Sumatera.
Sekitar pertengahan bulan Juni 1948 Bapak Husein Mutahar menerima berita dari Bapak Soejono , isi pemberitahuan itu yakni adanya surat pribadi Presiden pada dirinya yang pada pokoknya Presiden memerintahkan Bapak Husein Mutahar guna menyerahkan kembali Bendera Pusaka kepada Beliau dengan perantaraan Bapak Soejono yang selanjutnya Bendera Pusaka tersebut dibawa serta diserahkan kepada Presiden ditempat pengasingan (Muntok, Bangka).

Setelah mengetahui hal tersebut, dengan meminjam mesin jahit milik isteri seorang dokter, Bendera Pusaka yang terpisah menjadi dua bagian tersebut disatukan kembali persis pada posisinya semula, akan tetapi sekitar 2 cm dari ujung Bendera ada sedikit kesalahan jahit.
Selanjutnya Bendera tersebut di serahkan kepada Bapak Soejono sesuai dengan isi surat perintah Presiden.
2.    Pengibaran Bendera Merah Putih di Gedung Agung Yogyakarta

Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke II (1946-red), Presiden memanggil salah seorang ajudan beliau, yaitu Bapak Mayor Laut (L) Husein Mutahar (yang kelak menyelamatkan Bendera Pusaka-red). Selanjutnya memberikan tugas untuk mempersiapkan dan memimpin upacara peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1946 di Halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta (pada tahun 1946 Ibukota RI berada di Yogyakarta-red).
Pada saat itu Bapak Husein Mutahar mempunyai pemikiran bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa maka pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda se-Indonesia. Kemudian beliau menunjuk 5 orang pemuda yang terdiri dari 3 orang putera dan 2 orang puteri perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta.
Formasi pengibaran seperti ini dilakukan sampai dengan tahun 1948.
Pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden bersama Wakil Presiden tiba kembali di Yogyakarta dari Bangka (tempat pengasingan-red) dengan membawa kembali Bendera Pusaka. Tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan di Negeri Belanda dan mengubah bentuk negara Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat dan menyerahkan kekuasaan di Jakarta. Sedangkan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat dilakukan di Yogyakarta.
Tanggal 28 Desember 1949 Presiden kembali ke Jakarta guna memangku jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat. Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta kembali menjadi Ibukota RI dan pada hari itu juga Bendera Pusaka juga dibawa ke Jakarta.
Untuk pertama kali peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1950 diselenggarakan di Istana Merdeka, Jakarta. Bendera Pusaka Merah Putih berkibar dengan megahnya di tiang tujuh belas dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Regu-regu pengibar dari tahun 1950-1966 dibentuk dan diatur oleh Rumah tangga Kepresidenan.

3. Percobaan Pembentukan Pasukan Penggerek Bendera Pusaka Tahun 1967 dan Pasukan Pertama Tahun 1968 
Pada tahun 1967 Bapak Husein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soeharto untuk menangani lagi masalah Pengibaran Bendera Pusaka. Dengan ide dasar dari pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta (5 orang-red), kemudian beliau mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu : Kelompok 17/Pengiring (Pemandu), Kelompok 8/Pembawa (Inti), Kelompok 45/Pengawal. Ini merupakan simbol yang diambil dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
Pada saat itu dengan situasi dan kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas Pengibaran Bendera Pusaka.
Semula rencana beliau untuk kelompok 45 (pengawal) akan terdiri dari para Mahasiswa AKABRI (Generasi Muda ABRI-red) , tetapi pada waktu itu libur perkuliahan dan transfortasi Magelang-Jakarta menjadi kendala, sehingga sulit untuk dilaksanakan.
Usul lain untuk menggunakan pasukan elite ABRI (RPKAD, PGT, MARINIR, BRIMOB) juga tidak mudah. Akhirnya diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi dan sekaligus mereka bertugas di Istana Jakarta.
Tahun 1968, petugas Pengibar Bendera Pusaka adalah pemuda utusan propinsi. Tetapi belum seluruh propinsi mengirimkan utusan sehingga harus ditambah oleh ex-anggota pasukan tahun 1967.
Tahun 1969 karena Bendera Pusaka kondisinya terlalu tua sehingga tidak mungkin untuk dikibarkan kembali, maka dibuatlah duplikat. Untuk dikibarkan di tiang 17 Meter Istana Merdeka, telah tersedia Bendera Merah Putih dari bahan Bendera (wool) yang dijahit 3 potong memanjang kain merah dan 3 potong memanjang kain putih kekuning-kuningan.
Bendera Merah Putih duplikat Bendera Pusaka yang akan dibagikan ke daerah idealnya terbuat dari sutra alam dan alat tenun asli Indonesia, yang warna merah dan putihnya langsung ditenun menjadi satu tanpa dihubungkan dengan jahitan dan warna merahnya cat celup asli Indonesia.
Pembuatan Duplikat Bendera Pusaka ini dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung dengan dibantu oleh PT Ratna di Ciawi Bogor. Dalam prakteknya pembuatan duplikat Bendera Pusaka, sukar untuk memenuhi syarat ideal yang ditentukan Bapak Husein Mutahar, karena cat asli Indonesia tidak memiliki warna merah yang standar dan pembuatan dengan alat tenun bukan mesin akan lama.
Tanggal 5 Agustus 1969 di Istana Negara Jakarta berlangsung upacara penyerahan Duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan Reproduksi Naskah Proklamasi oleh Presiden Soeharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Seluruh Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar pada waktu upacara peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan di masing-masing daerah dapat dikibarkan duplikat Bendera Pusaka dan pembacaan Naskah Proklamasi bersamaan dengan Upacara Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan yang dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta. Selanjutnya kedua benda tersebut juga di bagikan ke Daerah Tingkat II serta perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Bendera Duplikat mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka, sedangkan Bendera Pusaka bertugas mengantar dan menjemput Bendera Duplikat yang dikibarkan/diturunkan. Pada tahun itu juga resmi anggota PASKIBRAKA adalah remaja SMTA se-tanah air yang merupakan utusan dari tiap-tiap propinsi. Setiap propinsi di wakili oleh sepasang remaja.
Pada tahun 1973 Bapak Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk anggota Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan PASKIBRAKA. PAS akronim dari Pasukan, KIB akronim dari Pengibar, RA berati bendera, KA berati Pusaka. Mulai saat itulah resmi singkatan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka adalah PASKIBRAKA sampai saat ini.

A T R I B U T

1. Lambang Anggota PASKIBRAKA

Lambang PASKIBRAKA yang dimiliki serta dipakai hingga saat sekarang diciptakan oleh Bapak Idik Suleman pada tahun 1973.
Lambang tersebut adalah setangkai bunga Teratai yang mulai mekar dan dikelilingi oleh gelang rantai, yang mata rantainya berbentuk bulat dan belah ketupat. Mata Rantai tersebut berjumlah 16 pasang mata rantai bulat dan belah ketupat.
Lambang berupa Bunga Teratai yang tumbuh dari lumpur (tanah) dan berkembang di atas air, hal ini mengandung makna atau dianalogikan bahwa anggota PASKIBRAKA adalah pemuda yang tumbuh dari bawah (orang biasa-red) dari tanah air yang sedang berkembang (tumbuh-red) dan membangun.
Bunga Teratai berdaun bunga 3 helai ke atas, 3 helai mendatar. 3 helai pertama bermakna : belajar, bekerja dan berbakti, 3 helai lainnya bermakna : aktif, disiplin dan gembira.
Mata rantai berkaitan melambangkan persaudaraan yang akrab antar sesama Generasi Muda Indonesia yang ada di berbagai pelosok penjuru (16 mata arah mata angin-red) tanah air. Rantai persaudaraan tanpa memandang asal suku, agama, status sosial dan golongan akan membentuk jalinan mata rantai persaudaraan sebangsa yang kokoh dan kuat. Sehingga mampu menangkal bentuk pengaruh dari luar dan memperkuat ketahanan nasional, melalui jiwa semangat persatuan dan kesatuan yang tertanam dalam dada setiap anggota PASKIBRAKA.
2. Lambang Korps PASKIBRAKA

Untuk mempersatukan Korps, untuk PASKIBRAKA Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota ditandai oleh Korps yang sama.
Lambang Korps yang lama sebelum tahun 1973 berupa lencana berupa perisai dari bahan logam : kuningan, dengan gambar sangat sederhana : ditengah bulatan terdapat lambang Bendera Merah Putih dan di luar terpampang tulisan “ Pasukan Penggerek Bendera Pusaka “
Lambang Korps sejak tahun 1973 diganti dengan bentuk Perisai berwarna hitam dengan garis pinggir dengan huruf berwarna kuning : PASUKAN PENGIBAR BENDERA PUSAKA DAN TAHUN …….(diujung bawah perisai) berisi gambar (dalam bulatan putih) sepasang anggota PASKIBRAKA dilatarbelakangi oleh Bendera Merah Putih yang berkibar ditiup angin dan 3 garis horizontal diasumsikan sebagai awan.

1. Bentuk Perisai bermakna “ Siap bela negara” termasuk bangsa dan tanah air Indonesia, warna hitam bermakna teguh dan percaya diri.
2. Sepasang anggota PASKIBRAKA bermakna PASKIBRAKA terdiri dari anggota putera dan anggota puteri yang dengan keteguhan hati bertekad untuk mengabdi dan berkarya bagi pembangunan Indonesia.
3. Bendera Merah Putih yang sedang berkibar adalah bendera kebangsaan dan utama Indonesia yang harus dijunjung tinggi seluruh bangsa Indonesia termasuk generasi mudanya, termasuk PASKIBRAKA.
4. Garis Horizontal atau awan 3 garis menunjukan ada PASKIBRAKA di 3 Tingkatan ; Tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota
5. Warna Kuning berarti kebanggaan, keteladanan dalam perilaku dan sikap setiap anggota PASKIBRAKA

Sejarah Paskibra Kota Bandung

Awal tahun pelajaran 1981, oleh seorang kakak kelas di SMA Negeri 8 Bandung,
saya ditanya jika ditunjuk sebagai pengurus OSIS akan memilih posisi apa. Kepada
saya diberi beberapa pilihan, salah satunya sebagai Seksi Upacara, dan posisi
inilah yang saya ambil.
Maka ketika diadakan pembentukan pengurus OSIS SMA Negeri 8 Bandung periode
1981-82, saya ditunjuk sebagai Ketua Sub Seksi Upacara yang berada di bawah
Seksi Pendidikan.
Setelah pengukuhan pengurus OSIS, saya diwanti-wanti oleh Kepala Sekolah (Bapak
Drs.Th.Lebdoto) dan Pembina OSIS (Bapak Drs.Nandang Yusuf) untuk menangani
upacara dengan sebaik-baiknya oleh karena sebelumnya di SMA Negeri 8 Bandung
jarang dilakukan upacara bendera.
Kemudian Ketua OSIS (Peri Hendra Karya) meminta saya menyusun program kerja Sub
Seksi Upacara, dan di dalamnya saya menuliskan agar SMA Negeri 8 Bandung
memiliki kelompok khusus yang terdiri atas siswa SMA Negeri 8 Bandung yang
bertugas sebagaipetugas upacara, yang dilatih secara khusus dan berseragam
khusus pula.

Sampai berakhirnya kepengurusan OSIS SMA Negeri 8 Bandung periode 1981-82
program ini satu-satunya program kerja Sub Seksi Upacara yang tidak dapat
direalisasi. Tetapi saya bersyukur bahwa di akhir jabatan Kepala Sekolah dan
Pembina OSIS mengapresiasi tugas saya dengan baik, mengucapkan selamat dan
terima kasih bahwasanya di bawah pengaturan saya, SMA Negeri 8 Bandung dapat
menyelenggarakan upacara bendera dengan rutin dan tertib.
Saya juga berterima kasih kepada dukungan teman-teman yang saat itu dengan
ikhlas membantu saya menyelenggarakan upacara bendera dengan baik dan tertib.
Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada almarhum Bapak Uba Sobandi (setiap
Senin pagi dan Sabtu sore selalu membantu saya menyiapkan peralatan upacara),
rekan seangkatan: Agus Mulyawarman, Ariviadi Kustaman, Indaryanto Insan, Afrias
Sarotama, Agung dan Anaya, Peri Hendra Karya (Ketua OSIS), Rosman Suherman
(pengurus OSIS), juga kepada adik kelas: Eriyawan, Sugiono, Januar Primadi
(Yepi) dan Yayat.


Bulan Januari 1984 datang kepada saya seorang pengurus OSIS periode 1983-84
(Wawan) yang saya kenal juga sebagai anggota Ambalan Prabu Ekalaya, dan
mengutarakan maksudnya untuk merealisasikan program kerja saya dahulu sebagai
Ketua Sub Seksi Upacara. Kemudian diadakan pertemuan dengan Ketua OSIS saat itu
(Madya Kustaman, adik Ariviadi Kustaman) untuk membahas kegiatan yang akan
dilaksanakan.
Setelah dicapai kesepakatan bahwa Ketua OSIS (Madya) dibantu Wawan akan merekrut
siswa, saya akan mencarikan tenaga yang melatihnya.
Kemudian saya menghubungi teman-teman yang lain: Dedy Dharmawan (alumni SMAN 5
Bandung yang pernah bertugas sebagai Paskibraka Nasional 1982), Agus
Mulyawarman, Indaryanto Insan, Ariviadi Kustaman, dan Doni Ramdhana (kesemuanya
alumni SMAN 8 Bandung angkatan 1983) serta D. Sandi Merwanto (alumni SMAN 12
Bandung angkatan 1983).
Semua teman yang saya hubungi ini adalah teman seangkatan sejak SMP di SMPN 13
Bandung dan semuanya juga merupakan anggota Ambalan Panduputra Gudep 1111 yang
berpangkalan di SMPN 13 Bandung.
Tidak lupa juga saya menghubungi Peri Hendra Karya untuk ikut memberikan materi,
juga meminta kesediaan Ketua OSIS (Madya) untuk berbicara juga kepada peserta
pelatihan nantinya.

Untuk menyusun materi latihan, saya banyak diskusi dengan Dedy Dharmawan dan
Ariviadi Kustaman, sehingga tersusunlah program latihan yang kemudian
direalisasikan pada bulan Februari 1984.
Latihan berakhir tepat tanggal 11 Maret 1984 ditutup dengan renungan pada malam
tanggal 10 dilanjutkan dengan pengukuhan pada tanggal 11 Maret 1984.
Lahirlah angkatan Pioneer SMA Negeri 8 Bandung.

Karena saya dan teman-teman sering berkumpul di rumah orang tua Dedy Dharmawan,
Jl. Reog D-57 Bandung, tentu orang tuanya mengetahui aktivitas kami semua,
termasuk melatih siswa SMA Negeri 8 Bandung. Sehingga kemudian dalam kapasitas
sebagai Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kodya Bandung (saat
itu), ayah dari Dedy Dharmawan, Bapak Dana Setia meminta kami untuk menyiapkan
angkatan Pioneer guna tampil dalam upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional
tanggal 2 Mei 1984 di Plaza Balaikota Bandung sebagai petugas pengibar bendera.
Maka pada tanggal 2 Mei 1984 tampillah angkatan Pioneer SMA Negeri 8 Bandung
sebagai petugas pengibar bendera disaksikan oleh seluruh undangan dan peserta
upacara lainnya, termasuk siswa SMA Negeri 3 dan 5 Bandung yang menjadi kelompok
aubade.

Tidak lama sesudah upacara ini, datanglah Ketua OSIS SMA Negeri 5 Bandung (Avi)
menemui saya dan teman-teman yang saat itu sedang berada di Sanggar Pramuka di
SMPN 13 Bandung.
Kepada saya, Dedy Dharmawan, Agus Mulyawarman dan beberapa teman lainnya, Avi
mengutarakan maksudnya agar siswa SMA Negeri 5 Bandung juga dapat dilatih
seperti siswa SMA Negeri 8 Bandung.
Setelah dicapai kesepakatan, latihan dimulai pada bulan Mei saat itu juga
dibantu oleh oleh Oo Sabur Rinalto (Seksi Upacara SMA Negeri 5 Bandung)
bertempat di lapangan Bali.
Materi latihan untuk SMA Negeri 5 sama seperti untuk SMA Negeri 8 dengan
beberapa penyempurnaan, dan latihan berakhir tepat tanggal 1 Juni 1984 (Hari
Lahir Pancasila), dan dengan berakhirnya latihan ini muncullah angkatan Myoto
SMA Negeri 5 Bandung.Untuk latihan di SMA Negeri 5 Bandung ini, saya dan
teman-teman dibantu oleh Sefti Reiza (alumni SMA Negeri 3 Bandung angkatan 1984
& Paskibraka Nasional 1983).
Komposisi instruktur, demikianlah saya dan teman-teman menyebut diri sendiri
terdiri atas: Agus Mulyawarman, Ariviadi Kustaman, Dedy Dharmawan, Doni
Ramdhana, D. Sandi Merwanto, Eka Harijanto, dan Indaryanto Insan serta dibantu
oleh Sefti Reiza.

Bulan Agustus 1984 keluarlah surat keputusan Kepala Kantor Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Kodya Bandung yang ditandatangani oleh Bapak Dana Setia yang
mengukuhkan angkatan Pioneer dan Myoto sebagai Paskibra Kodya Bandung, serta
mengukuhkan kami berdelapan sebagai instrukturnya.
Pengukuhan dilakukan oleh Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kodya Bandung pada tanggal 16 Agustus 1984 malam hari, bertempat di SMA Negeri 5
Bandung, persisnya di ruang 2 di atas, dihadiri oleh seluruh angkatan Pioneer
dan Myoto serta instruktur, terkecuali Dedy Dharmawan.
Dimulailah era Paskibra Kodya Bandung.

Penampilan angkatan Pioneer dan Myoto di sekolahnya masing-masing menyebabkan
adanya animo yang tinggi untuk bergabung dengan Paskibra. Karena itulah dimulai
rekrut berikutnya di SMA Negeri 8 dan 5 Bandung. Sehingga pada bulan Desember
1985 terbentuklah angkatan Patriot di SMA 8 dan angkatan Merdeka di SMA 5.
Harus diakui bahwa perekrutan angkatan kedua ini terlalu tergesa-gesa dan kurang
terkoordinasi, sehingga dipandang ada kekurangan yang perlu diperbaiki.

Keempat angkatan yang tampil ini menyebabkan SMA 1 dan SMA 2 juga berminat untuk
menyelenggarakan diklatsar Paskibra. Sementara itu di sisi instruktur diadakan
pembenahan dalam bentuk pembagian tugas dan fungsi. Atas dasar kesepakatan
bersama, Dedy Dharmawan ditunjuk menjadi Koordinator Instruktur, dan saya
menjadi Sekretaris. Untuk materi diklatsar dipercayakan kepada Ariviadi Kustaman
bersama Indaryanto, sementara untuk perlengkapan dan logistik ditangani Agus
Mulyawarman & Doni Ramdhana.

Diklatsar untuk angkatan pertama SMA 1, SMA 2 dan diklatsar ulang untuk angkatan
Patriot dilakukan di Taman Ganesha & Jl. Gelapnyawang, dilakukan pada bulan
Maret 1985 dengan bantuan angkatan Pioneer dan Myoto.
Untuk ketiga sekolah ini diadakan dua kali pengukuhan, yang pertama di ruang
tengah Balaikota dan yang kedua di aula SMA Negeri 1 Bandung.

Setelah diklatsar bulan Maret 1985 ini, saya menyarankan agar untuk sementara
diklatsar ditiadakan dulu sambil melakukan konsolidasi ke dalam, menata
organisasi Paskibra Kodya Bandung.
Saat konsolidasi sedang berjalan, datanglah berita bahwa Bandung akan menjadi
tuan rumah peringatan ke 30 tahun Konferensi Asia Afrika dan dilaksanakan di
Gedung Merdeka tanggal 24-25 April 1985.
Untuk keperluan pengibaran bendera negara-negara peserta peringatan ini Paskibra
Kodya Bandung mendapatkan tugas mengibarkannya di beberapa tempat.
Selain di Gedung Merdeka juga dikibarkan di Hotel Homann, Hotel Panghegar, Hotel
Istana dan satu hotel lagi di Jl. Dipati Ukur.
Untuk itu seluruh anggota mendapatkan dispensasi meninggalkan pelajaran guna
mengikuti latihan yang digelar seminggu sebelum pelaksanaan, pembuatan Pakaian
Dinas Upacara (PDU) pun dipercepat.
Sejak diklatsar bulan Maret 1985, instruktur bertambah empat orang lagi,
kesemuanya adalah mantan Paskibraka Jawa Barat 1982, Gin Gin Gia Ginanjar,
Tubagus Ade Damanhuri, dan Unang Kusnaeni serta Waluja S. Dengan demikian
seluruh instruktur berjumlah dua belas orang.
Pada H-1 diadakan gladi bersih di seluruh tempat pengibaran diikuti seluruh
anggota Paskibra Kodya Bandung dan anggota Pramuka dari pangkalan SMA Pasundan 1
Bandung yang bertugas mengibarkan di hotel Homann.

Tanggal 23 April 1985, gladi bersih selesai sesudah maghrib oleh karena bendera
diturunkan tepat jam 6 sore sesuai dengan ketentuan. Tetapi tugas belum selesai,
tali-tali yang dipasang perlu diperiksa ulang, demikian juga pengait kayu yang
pembuatannya mengerahkan seluruh anggota.
Setelah istirahat sejenak dan makan malam, jam 10 malam saya dan teman-teman
kembali berkumpul di Jl. Reog D-57 untuk memeriksa ulang bendera dan pengait
yang masih belum dipasang. Sekitar jam 12 malam, saya, Agus, Ariviadi dan yang
lainnya memeriksa tali dan pengait yang dipasang di seluruh lokasi, mulai dari
Gedung Merdeka, Hotel Homann, Hotel Istana, Hotel Panghegar dan hotel di Jl.
Dipati Ukur.
Dini hari itu saya dan teman-teman hanya tidur sekitar dua jam karena jam 4 pagi
semuanya harus sudah siap di tempat tugas masing-masing.
Pengibaran bendera hari H saya bertugas di Hotel Panghegar, sementara itu
teman-teman lain tersebar di tempat lain dengan titik utama di Gedung Merdeka &
Hotel Homann.
Seluruh bendera berhasil dikibarkan di seluruh titik penugasan tepat jam 6 pagi,
setelahnya baru terasa bahwa sudah dua hari kurang tidur dan perut minta diisi
kembali. Jam 9 pagi seluruh instruktur berkumpul di lobi Hotel Homann untuk
istirahat dan evaluasi, dan dua jam kemudian kembali ke rumah masing-masing
untuk menebus kekurangan tidur.
Sementara seluruh anggota istirahat, sore hari para instruktur kembali ke lokasi
tugas masing-masing untuk memeriksa kondisi bendera dan tiang serta tali dengan
pengaitnya.

Seremoni peringatan HUT ke 30 KAA berakhir siang hari tanggal 25 April 1985, dan
jam 4 sore seluruh anggota Paskibra Kodya Bandung sudah bersiap kembali untuk
menurunkan bendera tepat jam 6 sore.
Penurunan berlangsung dengan sempurna di semua lokasi tugas, tepat jam 6 sore.
Sesudahnya semuanya berkumpul di Gedung Merdeka untuk menyerahkan kembali
bendera kepada panitia dari Departemen Luar Negeri, beristirahat dan berfoto
bersama.
Akhirnya semua menarik nafas lega, tugas telah dilaksanakan dengan sempurna
tanpa kekurangan yang berarti, dan selanjutnya yang terdengar di ruang utama
Gedung Merdeka adalah cerita-cerita tentang masa-masa latihan persiapan tugas.
Sesuatu yang terjadi selama latihan menjadi cerita lucu, kenangan manis dan
bahan-bahan untuk gurau.

Setelah itu konsolidasi dilanjutkan kembali, melanjutkan kembali kuliah yang
ditinggalkan. Selama beberapa minggu berikutnya, saya dan Ariviadi duduk
bersama, diskusi sampai malam diselingi kopi merumuskan segala sesuatunya.
Termasuk menyempatkan diri ke Jakarta bertemu dengan kak Idik Sulaeman sebagai
pendiri Paskibraka, yang bersama-sama dengan kak Husein Mutahar membentuknya
pada dekade 1960.
Dari diskusi panjang lebar dengan kak Idik Sulaeman yang saat itu adalah juga
Andalan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka ada banyak hal yang diserap. Ada dua
hal dari kak Idik Sulaeman yang tidak dapat dilupakan: yang pertama bahwa semua
bendera Merah Putih hakekatnya adalah bendera pusaka, dengan demikian siapapun
boleh menyebut dirinya Paskibraka.
Yang kedua, beliau mengatakan bahwa esensi Paskibraka adalah wadah pembinaan
pemuda Indonesia untuk menjadi warganegara yang baik dan bertanggungjawab dengan
pendekatan pembinaan fisik dan pembinaan mental. Inilah yang kemudian sering
disebut-sebut sebagai Paskibra adalah pisau bermata dua.
Dari kak Idik juga saya menyerap ide pendekatan Desa Bahagia (yang kemudian
dicoba diterapkan pada diklatsar bulan Desember 1985), yang sesungguhnya sudah
diterapkan untuk pembinaan anggota Gerakan Pramuka golongan Penegak (16-20
tahun) dan golongan Pandega (21-25 tahun).
Termasuk beliau juga bercerita tentang pengalamannya sebagai anggota Pandu
Rakyat Indonesia bersama kak Husein Mutahar yang sudah dianggap sebagai kakak
sendiri, dan disitu kak Idik memperkenalkan kepada saya dan teman-teman istilah
dan pengertian Pawang, Bimanda, Rakanta dan Rimata.

Tidak lupa juga tanggal 13-14 Agustus 1985 saya dan teman-teman menyempatkan
diri berkunjung ke tempat pemusatan latihan Paskibraka Nasional di Lempusdika
Pramuka Cibubur dan Istana Merdeka.
Di pemusatan latihan ini saya berkenalan dan bertemu dengan kak Dharminto
Suropati dan almarhum Bunda Bunakim yang sejak awal sudah menjadi pengasuh
Paskibraka.
Akhirnya pada bulan Agustus 1985 saya dan Ariviadi Kustaman telah merumuskan
konsep tentang Paskibra Kodya Bandung. Di antaranya tentang buku merah Putih,
istilah " Satuan ", organisasi Paskibra Kodya Bandung, tentang pemusatan
latihan, tanda-tanda dan seragam, tahapan anggota dan lainnya.

Satu kebanggaan instruktur yang berjumlah dua belas orang ini, adalah bahwa
banyak anggota Paskibra Kodya Bandung yang bertugas sebagai Paskibraka, baik di
tingkat Nasional ( Penny Rajendra dan Kerry Lestari), dan tingkat Jawa Barat
(Indra Ridwan, Dadang Oce Iskandar, Tjintariah Teti, Edward, Heni, Betty R).
Tetapi di bulan Agustus 1985 tidak semua instruktur menyaksikan penampilan
mereka semua. Indaryanto Insan dipanggil menjadi taruna Akademi Angkatan Laut di
Surabaya.

Penerimaan calon anggota berlangsung bulan Agustus 1985, seleksi dan pengumuman
bulan September, dan pembukaan tahap Basis dimulai 1 Oktober 1985. Sekolah yang
ikut serta bertambah menjadi sebelas sekolah, yaitu: SMA Negeri 1, 2, 3, 4, 5,
7, 8, SMA BPI 1 dan 2, SMA PGII dan SMA Pasundan 3 Bandung.
Tahap diklatsar berlangsung selama 14 hari, sepuluh hari dilakukan/dipusatkan di
Jl. Gelapnyawang & Taman Ganesha, empat hari terakhir di asrama, yang disebar di
SMA Negeri 2 (untuk SMA 2, 4 dan SMA Pasundan 3), SMA Negeri 1 (untuk SMA 1, 7
dan PGII), SMA Negeri 3 & 5 (untuk SMA 3 dan 5), dan SMA
Negeri 8 (Untuk SMA 8, BPI 1 dan 2).
Komandan diklatsar di SMA 2 adalah Agus Mulyawarman, komandan diklatsar di SMA 1
adalah D. Sandi Merwanto, komandan diklatsar di SMA 5 adalah Ariviadi Kustaman,
dan komandan diklatsar di SMA 8 adalah saya sendiri.
Dalam diklatsar ini instruktur dibantu oleh anggota Pawang (angkatan Pioneer dan
Myoto yang saat itu duduk di kelas 3), dan seluruh anggota yang dibagi tugas
sebagai panitia, pembina dan pelatih.
Diklatsar ini dilakukan secara simultan, sehingga yang paling awal masuk asrama
adalah lokasi SMA 2, dilanjutkan di SMA 1, SMA 3 dan 5, terakhir di SMA 8.
Sehingga pada malam pengukuhan di SMA 2 dilanjutkan dengan renungan di SMA 1 dan
seterusnya.Praktis selama 4 malam berturut-turut instruktur semuanya mengalami
kurang tidur karena berpindah lokasi.
31 Desember 1985 anggota Paskibra Kodya Bandung mencapai hampir 400 orang,
terbanyak adalah dari SMA 8 dan 5, diikuti dari SMA 1 kemudian SMA BPI 1.
Instrukturnya adalah: Agus Mulyawarman, Ariviadi Kustaman, Dedy Dharmawan, D.
Sandi Merwanto, Doni Ramdhana, Eka Harijanto, Gin Gin Gia Ginanjar, Sefti Reiza,
Tb. Ade Damanhuri, dan Unang Kusnaeni.

Tahun 1986:
Tanpa terasa Paskibra Kodya Bandung akan menginjak tahun ketiga. Angkatan
Pioneer & Myoto yang duduk di kelas 3 akan segera meninggalkan bangku sekolah.
Anggota bertambah terus, dan diklatsar terakhir pada bulan Desember 1985 diikuti
oleh 11 SMA, artinya 11 satuan dengan total sekian ratus anggota.
Organisasi perlu ditata dan disempurnakan. Konsep yang sudah disusun pada tahun
1985 perlu dilanjutkan kembali. Karena itu bersama Ariviadi Kustaman, Agus
Mulyawarman dan D.Sandi Merwanto dan saya mencoba melanjutkan kembali konsep
yang sudah pernah disusun.
Apalagi selama tahun 1985 sempat bertemu empat kali dengan kak Idik Sulaeman di
Jakarta dan Bandung untuk mencoba menangkap inti yang sesungguhnya dari
Paskibraka.

Berdasarkan konsep yang sudah disusun, Ariviadi Kustaman dan saya mengusulkan
agar kepengurusan Paskibra Kodya Bandung tidak dirangkap oleh instruktur.
Pertimbangannya adalah: kepengurusan Paskibra Kodya Bandung sebaiknya dijabat
oleh anggota Paskibra itu sendiri, bukan oleh instruktur seperti selama ini.
Bagi anggota kepengurusan dapat menjadi ajang latihan kepemimpinan yang
sesungguhnya, belajar mengelola organisasi dan kegiatan.
Sementara instruktur dapat lebih fokus pada pembinaan dan pelatihan. Tetapi
usulan ini ditolak oleh Dedy Dharmawan, argumennya bahwa anggota belum siap
menjadi pengurus.
Ariviadi Kustaman dan saya melanjutkan terus konsep yang sudah pernah disusun.
Ditulis pada sebuah buku besar yang penuh dengan tulisan dan coretan, memuat
hasil diskusi dan perdebatan yang dilakukan di sela-sela menangani latihan,
sambil berkemah dengan anggota Gudep 1111-1112 pangkalan SMPN 13 Bandung atau
saat sedang berada di sanggar gudep.
Bahkan kejenuhan dan kelelahan pernah terjadi saat sedang menggambar skema yang
merupakan penjelasan dari konsep ini, yang menyebabkan saya dan Ariviadi
Kustaman memutuskan menyusuri Jl. Asmarandana, melangkahkan kaki menuju bioskop
di Jl. Maskumambang untuk menonton film pertunjukkan jam 9 malam. Setelah
melepas lelah kira-kira jam 11 malam, pekerjaan dilanjutkan kembali sampai
sekitar jam 1-2 dini hari.

Oleh karena sekarang ada 11 satuan maka saya dan Ariviadi Kustaman telah
merancang materi latihan untuk dilaksanakan di masing-masing satuan, dan materi
latihan gabungan yang diselenggarakan sebulan sekali di Plaza Balaikota Bandung.
Dalam konsep yang disusun diselesaikan pula banyak hal, misalnya status
keanggotaan berikut tanda-tanda serta penetapan jenis pakaian.
Dalam status dan tanda keanggotaan ditetapkan bahwa anggota yang telah mengikuti
diklatsar berhak mengenakan Lencana Kepemimpinan (LK) berwarna dasar perak di
samping warna merah putih, dihiasi dengan garuda berwarna perak pula. Setelah
melalui proses dan tahapan tertentu, LK berganti menjadi warna dasar perak
dengan garuda berwarna emas, selanjutnya warna dasar menjadi putih dengan garuda
berwarna emas. Dan pada tahap terakhir anggota berhak mengenakan LK dengan warna
dasar hijau dengan garuda berwarna emas. Khusus instruktur LK-nya berwarna dasar
merah dengan garuda berwarna emas, sebagaimana yang telah digunakan selama ini
dan sama dengan warna LK para pelatih di tingkat Daerah dan Nasional.
Dalam konsep ini telah dimuat pula rencana nama tingkatan untuk pengguna LK yang
berbeda tersebut di atas. Ariviadi Kustaman dan saya sepakat untuk mengadopsi
penyebutan nama tingkatan yang dikemukakan kak Idik Sulaeman, mengacu pada
pengalaman beliau saat menjadi anggota Pandu Rakyat Indonesia sebelum dilebur ke
dalam Gerakan Pramuka.
Patut diketahui sampai saat itu pemusatan latihan Paskibraka Nasional masih
menggunakan fasilitas milik Gerakan Pramuka di Cibubur, bahkan celana seragam
latihanpun berwarna coklat dengan topi " jepang " berwarna kuning, warna yang
identik dengan golongan Penegak (usia 16-20 tahun).
Sampai saat itu pula salah satu persyaratan menjadi Paskibraka Daerah dan
Nasional adalah pernah atau masih menjadi anggota Gerakan Pramuka.

Seiring dengan perjalanan waktu, tanda-tanda keretakan dalam tubuh instruktur
mulai muncul. Diawali dengan penugasan kepada seluruh instruktur untuk menjadi
tim seleksi calon utusan kota Bandung untuk pemilihan Paskibraka Jawa Barat.
Setelah beberapa hari yang melelahkan untuk menyeleksi ratusan orang di
sepanjang Jl. Matraman sebelah utara, data seleksi direkapitulasi. Rekapitulasi
dibagi dua, kelompok putra dan putri, kemudian diurut berdasarkan perolehan skor
yang paling besar sampai dengan skor yang paling kecil. Rekapitulasi ini
kemudian diserahkan kepada staf Seksi Binmudora Kandep Kodya Bandung.
Tidak lama setelahnya, saya dan teman-teman mendapat laporan dari anggota bahwa
hasil seleksi telah keluar dalam bentuk surat yang ditujukan kepada SMA-SMA yang
mengirimkan siswanya untuk mengikuti seleksi. Data pada edaran ini kemudian oleh
teman-teman instruktur dicocokkan dengan fotokopi data rekapitulasi yang masih
dipegang oleh instruktur. Data pada hasil seleksi kelompok putra sesuai dengan
fotokopi rekapitulasi nilai, tidak ada masalah. Namun begitu dicocokkan pada
kelompok putri, teman-teman instruktur menemukan kejanggalan.
Pada fotokopi rekapitulasi nilai akhir yang dipegang instruktur nama seseorang
(sebut saja X) berada di peringkat 11, namun pada edaran pengumuman hasil
seleksi X berada pada peringkat 1.
Sungguh jauh perbedaannya. Orang pada peringkat 1 digeser dengan mudahnya dan
digantikan oleh peringkat 11, dan kelak X ini mewakili Jawa Barat sebagai
Paskibraka Nasional.
Saya dan teman-teman marah besar melihat hasil seleksi ini. Langsung saja kami
cari Koordinator Instruktur/Koordinator Paskibra Kodya Bandung untuk mencari
tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Jawabannya ketika saya dan teman-teman
bertanya, ini kebijakan pimpinan.
Maka kemudian D.Sandi Merwanto, Agus Mulyawarman, Ariviadi Kustaman, dan saya
mendatangi kantor Kandepdikbud Kodya Bandung menemui staf Seksi Binmudora.
Jawaban yang diberikan sama.
Terjadilah pertengkaran mulut dengan kerasnya, nyaris terjadi perkelahian karena
D. Sandi Merwanto mengangkat kursi berkaki besi untuk digunakan memukul.

Rasa marah kemudian memang reda, tapi perasaan kecewa sulit sekali dihilangkan.
Suatu saat kemudian dalam suatu pertemuan Koordinator Instruktur menyampaikan
bahwa Satuan SMA Negeri 1 memiliki pandangan negatif kepada instruktur. Maka
kemudian D.Sandi Merwanto dan Agus Mulyawarman serta Ariviadi Kustaman mencari
tahu, mengklarifikasi langsung. Ternyata apa yang dikemukakan oleh koordinator
tidak sesuai dengan kenyataan.
Di lain kesempatan Agus Mulyawarman, Ariviadi Kustaman, D.Sandi Merwanto, Gin
Gin G.ia Ginanjar, Sefti Reiza, Waluja, dan saya merasa malu sekali. Dalam satu
sesi latihan dengan Satuan SMA PGII kami menyampaikan bahwa para instruktur
dalam melatih tidak dibayar sepeserpun. Faktanya memang tidak ada apapun yang
diterima oleh instruktur dari pihak sekolah dan Kandepdikbud Kodya Bandung.
Untuk makan selesai latihan atau bensin untuk kesana kemari sebagai instruktur,
semuanya dibayar dari kantong pribadi.
Selang beberapa waktu kemudian seorang anggota dari Satuan SMA PGII menyampaikan
kepada Gin Gin Gia Ginanjar bahwa sesungguhnya ada uang transport yang diberikan
untuk para instruktur.
Ketika Gin Gin Gia Ginanjar menyampaikan hal ini pada teman-teman dan saya,
terkejutlah kami semua. Kebetulan Agus Mulyawarman yang ikut hadir dan menjabat
sebagai Bendahara Instruktur, maka kami bertanya pada dia, apakah memang
menerima uang tersebut. Jawabannya, sama sekali tidak tahu dan tidak pernah
menerima. Pertanyaanpun kemudian ditujukan kepada Gin Gin G. Ginanjar apakah
kata-kata anggota itu bisa dipertanggungjawabkan? Jawabannya, ya. Karena anggota
yang bercerita itu hadir saat kepala sekolah menyerahkan uang tersebut.

Ketika hal ini ditanyakan oleh Gin Gin G. Ginanjar kepada yang menerima uang,
jawabannya adalah tidak ada. Kalaupun ada jumlahnya tidak seberapa lagi pula
sudah habis dipakai makan beramai-ramai sesudah latihan.
Satu demi satu tentang bukti ketidakjujuran bermunculan, belum lagi sikap
membedakan antara satu satuan dengan satuan yang lainnya. Di awal menjadi
instruktur, ada kesepakatan yang diikat, salah satunya adalah perlakuan yang
sama pada seluruh satuan. Biarpun Ariviadi Kustaman, Agus Mulyawarman, Doni
Ramdhana dan saya adalah alumni SMA Negeri 8, tidak boleh sedikitpun Satuan SMA
Negeri 8 diperlakukan istimewa.
Terjadilah konflik terbuka, antara saya, Ariviadi Kustaman, Agus Mulyawarman, D.
Sandi Merwanto, Gin Gin G.Ginanjar dengan Koordinator Instruktur. Konflik ini
kemudian ditengahi oleh Bapak Dana Setia. Maka diadakanlah pertemuan di kafe, di
seberang rumah beliau. Semua instruktur hadir, dan dalam pertemuan tersebut
terjadi kesepakatan bahwa masing-masing pihak akan memperbaiki diri dan tidak
mengulang kesalahan yang sama.

Tetapi suasana sudah tidak kondusif. Apa lagi ada sorotan dari anggota tentang
pembiayaan untuk pembuatan PDU dan pengadaan tanda-tanda yang sesungguhnya
ditangani oleh Agus Mulyawarman dan Doni Ramdhana. Jumlah saldo tidak pernah
jelas, pos-pos pengeluaranpun juga tidak jelas. Salah satu penyebabnya karena
pengelolaan keuangan tidak satu pintu dan tidak ada pencatatan yang akurat.
Padahal waktu itu sudah berlaku iuran harian, yang jika diakumulasikan jumlahnya
tidak sedikit.
Konflik kembali terjadi karena saya dan teman-teman dituduh memprovokasi
angkatan Pioneer, Patriot, Myoto & Merdeka untuk memihak kepada saya dan
teman-teman, sementara itu di sisi lain Korrdinator Instruktur tetap tidak
mengubah perilakunya.
Saya dan teman-teman tidak berniat sedikitpun membuka konflik ini di depan
seluruh anggota, tetapi memang ada beberapa orang dari angkatan Pioneer & Myoto
yang tahu, dan meminta penjelasan dari saya dan teman-teman.
Akhirnya dalam tubuh instruktur terbagi menjadi dua kelompok, D.Sandi Merwanto,
Ariviadi Kustaman, Agus Mulyawarman, Waluja S., Sefti Reiza, Gin Gin G.Ginanjar
dan saya berada pada kelompok yang sama, dan sisanya pada kelompok yang satu
lagi. Di sisi lain Doni Ramdhana pada pertengahan tahun 1986 mengundurkan diri
karena dipanggil mengikuti Pendidikan Tinggi (Dikti) di PT Telkom.

Konflik ini kemudian melebar karena kelompok yang satu lagi berusaha menarik
pihak-pihak lain untuk terlibat. Pada akhirnya saya dan teman-teman bukan saja
berhadapan dengan Koordinator Instruktur, tetapi juga dengan ayah kandungnya.
Hingga di suatu sore ketika saya, Ariviadi Kustaman, D.Sandi Merwanto, dan Agus
Mulyawarman saat sedang berada di sanggar Gudep 1111-1112 didatangi oleh sang
ayah kandung dan ditantang berkelahi. Beruntung saat itu kami berempat bisa
mengontrol diri dan tidak menanggapi tantangan tersebut. Sore itu sang ayah
kandung meminta kami berempat bertemu dengan dirinya dan anak-anaknya di ruang
kerja esok hari.
Malam itu kami berempat bertemu dengan dua pihak yang bisa kami percayai sebagai
tindakan berjaga-jaga jika pertemuan esok hari tidak berjalan sesuai rencana.
Malam itu kami berempat membahas persiapan untuk pertemuan besok sampai tengah
malam.
Pertemuan terjadi besok harinya di ruang kerja di Jl. Matraman. Kami berempat
lengkap, duduk bersama dengan sang ayah kandung yang disertai anaknya yang
terbesar, adik nomor 1 dan 2.
Pertemuan berjalan sesuai dengan rencana, selesai menjelang tengah hari, dan
sesudahnya kami menemui lagi kedua pihak yang ditemui sepanjang kemarin sore
sampai malam untuk memastikan bahwa rencana cadangan tidak jadi dilaksanakan.
Jika pertemuan tidak berlangsung sesuai rencana, maka rencana cadangan berjalan
dan sore hari itu kami berempat sudah berada di Jakarta untuk bertemu dengan
seorang perwira tinggi dari Mabes Polri.

Sepanjang perjalanan waktu menuju bulan Desember 1986 saya dan teman-teman lebih
banyak tidak hadir dalam latihan di satuan dan latihan gabungan. Suasana sudah
tidak kondusif dan tidak mendukung untuk keberadaan saya dan teman-teman sebagai
instruktur Paskibra Kodya Bandung. Lagi pula bangku kuliah memanggil dengan
gencar karena selama ini hampir diabaikan.
Akhirnya, kami semua: D.Sandi Merwanto, Agus Mulyawarman, Ariviadi Kustaman,
Sefti Reiza, Gin Gin G. Ginanjar, Waluja S, dan saya sendiri sepakat untuk tidak
mempertahankan lagi keberadaan diri sebagai instruktur. Apa lagi kemudian ada
perintah untuk mengambil stempel Paskibra Kodya Bandung yang saat itu masih saya
pegang.
Sehari sebelum pelaksanaan diklatsar bulan Desember 1986 kami semua dipanggil
oleh sang ayah kandung. Kami semua ditanya apa masih bersedia menjadi instruktur
atau tidak, seraya diiringi kalimat jika tidak bersedia harus berani menanggung
resikonya.
Kami semua bulat menjawab tidak bersedia.

Semua konsep yang pernah ditulis saya simpan atas dasar kesepakatan bersama,
tidak pernah dibuka-buka lagi. Berbagai skema yang pernah dibuat ditinggalkan
begitu saja. Seluruh konsep tentang Paskibra Kodya Bandung tidak kami turunkan
dan tidak kami wariskan pada siapapun.

Maret 1987, saya dan teman-teman menerima undangan untuk hadir di Plaza
Balaikota pada hari Minggu. Di depan ribuan pasang mata anggota Paskibra Kodya
Bandung yang kami kenal dan tidak kami kenal, Kepala Kandepdikbud Kodya Bandung
menyampaikan ucapan terima kasih dan menyerahkan piagam penghargaan yang
menerakan nama kami masing-masing: Eka Harijanto, Ariviadi Kustaman, Agus
Mulyawarman, D. Sandi Merwanto, Gin Gin G. Ginanjar, Sefti Reiza, dan Waluja S.
sebagai PERINTIS PASKIBRA KODYA BANDUNG.
Hari itulah persinggungan kami yang terakhir dengan Paskibra Kodya Bandung dan
pertemuan kami yang terakhir dengan sang koordinator.

Kami memulai latihan pertama dalam usia rata-rata 20 tahun dan bulan Maret 1987
kami mengakhirinya pada usia 23 tahun.

(Eka Harijanto/Shidik Purnomo)